Senin, 27 Desember 2010

gagasan pemikiran ahmad wahib


Ahmad Wahib adalah seorang budayawan, dan pemikir Islam yang lahir pada tanggal 9 November 1942 di Sampang Madura. Semasa hidupnya yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam. Pada tanggal 31 Maret 1973, Ahmad Wahub meninggal dunia karena ditabrak sepeda motor di depan kantor majalah Tempo, tempat di mana ia bekerja sebagai calon reporter.

Dibawah ini adalah beberapa catatan harian dari Ahmad Wahib:

"Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?" (Catatan Harian 6 Juni 1969)

"Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang. Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali ? Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri" ( Catatan Harian 9 Juni 1969)

"Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan." (Catatan Harian 6 Oktober 1969)

"Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab." (Catatan Harian 20 Februari 1970)

"Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi. Saat itu adalah saat yang paling pahit." (Catatan Harian 20 April 1970)

"Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif." ( Catatan Harian 16 Agustus 1970)

"Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita. Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah." (Catatan Harian 10 April 1972)

"Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali. (Catatan Harian)"

selain itu, dibawah ini juga merupakan catatan harian ahmad wahib.

* Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

* Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. ( Catatan Harian 16 Agustus 1970)

* Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang. Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali ? Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri ( Catatan Harian 9 Juni 1969)

* Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab. (Catatan Harian 20 Februari 1970)

* Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita. Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah. (Catatan Harian 10 April 1972)

* Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini? (Catatan Harian 6 Juni 1969)

* Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan.(Catatan Harian 6 Oktober 1969)

* Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi. Saat itu adalah saat yang paling pahit. (Catatan Harian 20 April 1970)

* Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali. (Catatan Harian)

Inti Gagasan Pembaruan Wahib

Beragam persoalan yang diungkapkan Wahib dalam buku tersebut, menunjukkan minatnya yang luas terhadap berbagai bidang. Oleh Djohan Effendy, kawan terdekat sekaligus editor buku, persoalan itu dibagi ke dalam empat bagian: masalah keagamaan yang menempati porsi terbesar, soal politik dan budaya, dunia kemahasiswaan dan keilmuan, dan soal-soal yang menyangkut kehidupan pribadi. Di sini akan disinggung sekilas tema-tema pemikirannya yang saya anggap penting.

Kritik terhadap umat Islam

Di bagian awal buku, Wahib mengungkapkan kekecewaannya akan kondisi umat Islam saat itu, yang menurutnya belum mampu menerjemahkan kebenaran Islam dalam suatu program pencapaian (PPI, 18). Antara cita dan kenyataan masih jauh jaraknya. Dalam pandangan Wahib, agama (Islam) telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia, dus terpisahnya agama dari masalah dunia. Jadi tanpa disadari, umat Islam telah menganut sekularisme, meskipun dengan lantang sering menentang sekularisme (PPI, 37).

Kekecewaan Wahib juga diarahkannya pada organisasi-organisasi Islam. Apalagi tantangan pertama terhadap gagasan-gagasannya justru berasal dari kalangan HMI, sebuah organisasi yang menghimpun mahasiswa Islam, dari mana dia memulai pembaruannya. HMI saat itu masih belum bisa melepaskan ketergantungan baik secara emosional maupun politis dengan tokoh-tokoh Masyumi. Partai politik yang pernah dibekukan Soekarno itu, bersama Muhammadiyah, kerap menjadi sasaran utama kritik Wahib. Perjuangan politik Masyumi, menurutnya, terlalu yuridis-formalistis, hanya berkutat pada aspek-aspek lahiriah dari ajaran Islam. Senafas dengan itu, ia juga menilai Muhammadiyah telah berhenti sebagai organisasi pembaharu karena tidak lagi gelisah dan merasa cukup puas dengan ide-ide yang sudah ada. Muhammadiyah telah kehilangan élan vital pembaruannya, yakni kemauan untuk mencari dan bertanya, mengkritik diri, dan tidak terdapat lagi benturan ide-ide yang intensif di dalamnya.

Wahib justru lebih menghargai NU yang menurutnya lebih apresiatif terhadap kebudayaan, terbuka terhadap perubahan (change) dan penuh dengan inovasi-inovasi kultural. Hal ini, andaikata dilambari dengan sikap demokratis, jujur dan berwatak, dapat diperkirakan masa depan NU akan jauh lebih cemerlang daripada Muhammadiyah yang cenderung anti-kebudayaan. Kritiknya terhadap NU adalah kurangnya apresiasi ulama-ulamanya terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan modern, yang membuatnya gagap terhadap perubahan.

Kebebasan Berpikir

Atas kondisi-kondisi yang ada pada umat dan organisasi-organisasi Islam itu, Wahib menyerukan pentingnya pembaharuan. Dan itu harus dimulai dari kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir bukan saja hak, melainkan kewajiban. Bagi Wahib, orang yang berpikir itu, meskipun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir. Ia yakin bahwa Tuhan tidak membatasi, malah Tuhan akan bangga dengan otaknya yang selalu bertanya tentang Dia. Oleh karena itu Wahib heran dengan orang yang tidak mau menggunakan pikirannya, atau yang menyarankan agar dia berpikir dalam batas-batas tauhid, sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Aneh, tulisnya, mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri? Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan (PPI, 23).

Sumber Islam dan Sejarah Muhammad

Meskipun sangat mempercayai kekuatan akal, Wahib tidak setuju kalau akal dijadikan sebagai sumber Islam. Sumber Islam itu dua, Alquran dan Sunnah. Akal adalah alat untuk menggali kedua sumber itu. Tidak proporsional kalau akal dijadikan sumber. Logikanya, akal itu macam-macam, tiap orang berbeda-beda, maka sumber pun macam-macam pula (PPI, 23).

Namun pada catatannya kemudian, Wahib menyatakan bahwa sumber Islam adalah Sejarah Muhammad. Alquran dan Sunnah hanyalah sebagian sumber saja dari Sejarah Muhammad. Sumber lainnya dari Sejarah Muhammad adalah kondisi sosial, yakni struktur masyarakat waktu itu, kebudayaannya, struktur ekonominya, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadanya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya, dan lain-lainnya (PPI, 110). Tampaknya ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikirannya yang belum selesai, dan, oleh karena itu, merupakan yang paling susah dipahami. Pantaslah jika pemikiran tersebut tidak disetujui seorang pun yang hadir dalam sebuah diskusi di rumah Dawam Rahardjo, yaitu Nurcholish, Djohan, Usep, dan Utomo, dan Dawam sendiri.

Ijtihad dan Transformasi

Bentuk nyata berpikir bebas diwujudkan dalam ijtihad. Ijtihad merupakan usaha untuk menyusun konsepsi Islam tentang masalah keagamaan (akidah, ibadah, akhlak, dan khilafah), dan usaha untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan dengan berpegang pada konsepsi Islam di atas. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, Wahib menekankan pentingnya memahami semangat jaman atau konteks ketika suatu ayat turun (asbabun nuzul). Dengan demikian, kita tidak akan memaknai ayat secara harfiah, melainkan didasarkan pada konteksnya di jaman Nabi, dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Untuk menjawab persoalan umat, yang dibutuhkan bukanlah sekadar re-interpretasi ajaran Islam, melainkan transformasi ide-ide Islam pada jaman yang sedang berjalan (PPI, 69). Transformasi melepaskan kita dari kungkungan teks yang statis menuju sumber lain yang lebih dinamis, yakni kondisi sosial. Lebih jauh, Wahib membuat tesis, karena nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnyalah hukum-hukum Islam itu berkembang pula.

Konsep ini mempunyai konsekuensi besar terhadap berbagai hal, misalnya pada perumusan fikih. Fikih, menurut Wahib, merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di suatu tempat dan waktu (PPI, 58). Apa yang dilakukan Nabi adalah fikih pada masanya, dan ini bisa jadi berbeda dengan fikih yang kita terapkan saat ini. Misalnya Nabi menerapkan bentuk negara teokrasi, itu memang sesuai dengan jamannya. Apakah kita sekarang hendak menerapkan teokrasi, demokrasi, atau bentuk negara lain, sifatnya kondisional. Yang jelas, dalam hal hubungan Islam dan negara, Islam hanya menyediakan nilai-nilai dasar. Kitalah yang menentukan penerapan nilai-nilai itu dalam bentuk apa.

Politik, Budaya, dan Pribadi

Keluasan minat dan pandangan Wahib kian terlihat jelas ketika ia menyoroti masalah politik dan budaya. Greg Barton, dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina, 1999, hal. 288), meringkas pikiran-pikiran ensiklopedis Wahib ini dalam satu paragraf panjang: “Di bagian ini Ahmad Wahib menanggapi isu-isu militer dalam kehidupan Indonesia serta kebutuhan responsi pragmatic untuk hal itu, peran dan potensi Pancasila, kebutuhan masyarakat Indonesia untuk menginternalisasi prinsip-prinsip prinsip-prinsip demokratis dan problem-problem nasionalisme etnik. Ia menyentuh dan berulang-ulang menyoroti tema intelektual serta peran mereka dalam masyarakat, menjelaskan perbedaan antara intelektual dan teknokrat, pemikir dan ilmuwan, lalu mendiskusikan peran perubahan mereka dalam konteks sejarah singkat Indonesia, serta mengupas prospek masa depan mereka. Ia pun memperhitungkan kontribusi seni, sastra, dan seniman bagi hidup serta jiwa juga kelemahan-kelemahan santri yang menentang kelompok-kelompok agama lain. Ia mencari saat-saat ras tidak lagi menjadi isu dan mempertanyakan tabiat partisan nasionalisme Indonesia. Ia mendiskusikan sebab-sebab serta alasan hegemoni kultur Jawa. Ia menulis panjang tentang Pemilu 1971 dan tabiat politik Indonesia. Ia mengkaji ABRI dan Golkar dan perilaku kekuasaan. Ia menatap kaum muda sambil mempertimbangkan peran partai-partai oposisi. Ia menertawakan birokrat. Ia memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Ia berpikir dan berpikir bebas.”

Tidak banyak pemikir Islam yang menaruh minat pada banyak hal sekaligus, tanpa kehilangan kedalaman dan orisinalitas. Dalam hal ini, mungkin hanya Abdurahman Wahid yang bisa melebihinya. Nurcholish Madjid sendiri, menurut saya, tidak seluas Wahib rentangan pemikirannya, terutama karena Nurcholish tidak tertarik dengan seni dan sastra dan karenanya jarang bicara soal-soal kebudayaan. Tetapi tentu bukan di sini tempatnya untuk menjabarkan secara rinci pandangan-pandangan Wahib tentang aneka ragam soal itu.

Lepas dari semua atribut kehebatan itu, Wahib tetaplah seorang manusia yang tak luput dari keterbatasan. Obsesinya yang melangit, cita-citanya yang mengangkasa, seolah tidak berbanding lurus dengan kehidupannya sehari-hari sebagai pribadi: pekerjaan yang tidak tetap, kehidupan cinta yang tidak jelas, dan masa depan yang belum pasti. Wahib sendiri berulang-ulang mengeluhkan keadaan ini di catatan-catatannya yang menyangkut kehidupan pribadi. Keadaan sebenarnya tentu lebih lengkap dari sekadar yang dapat dibaca dalam PPI, yang atas pertimbangan-petimbangan tertentu tidak dimasukkan oleh Djohan Effendy selaku editor.

Posisi Wahib dalam Pembaruan Pemikiran Islam

Buku Pergolakan Pemikiran Islam diterbitkan pada tahun 1981, delapan tahun setelah kematiannya. Meskipun semasa hidupnya Wahib sering menganjurkan pembaruan Islam, namun pemikiran genuinnya baru diketahui oleh teman-teman diskusinya saja seperti Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Nurcholish Madjid, serta paling banter oleh para aktivis HMI Jateng. Posisinya dalam kelompok pembaruan, menurut Djohan Effendy, “lebih merupakan ‘orang belakang layar’ atau ‘actor intellectualist’, tak begitu dikenal umum” (PPI, 13). Karena ia memulai pembaruannya dari tubuh HMI, maka waktu itu fungsionaris HMI-lah yang lebih dikenal. Lebih lanjut, dalam pengantar buku PPI itu Djohan juga menyayangkan terlupakannya nama Ahmad Wahib dalam tulisan dua sarjana luar negeri, yakni Prof. Bolland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari Malaysia, yang meneliti gerakan pembaharuan Islam di Indonesia (PPI, 13).

Oleh karena itu cukup wajar jika dikatakan bahwa Wahib menjadi besar justru setelah ia meninggal. Ia mati, sudah itu berarti. Kita bisa berandai-andai apa saja mengenai nasib Wahib seandainya ia hidup lebih lama. Mungkin namanya akan tenggelam karena idealismenya terbentur kenyataan, karena bakat intelektual dan kerja kerasnya tak cukup kuat untuk melesatkannya ke garda depan; atau boleh jadi ia akan lebih besar dari yang diperolehnya sekarang, lebih terkenal dan lebih berpengaruh, bahkan dibanding Nurcholish Madjid. Apapun itu, yang terjadi adalah: ia berpikir, ia menulis, ia mati; ia sempat dilupakan, dan tiba-tiba ia menghentak dunia Islam Indonesia begitu catatan hariannya diterbitkan. Ia pun dikenal banyak orang. Namanya sering dibicarakan. Pemikirannya kerap jadi kutipan. Dan kegelisahannya yang khas dalam menempuh jalan kebenaran banyak dijadikan model oleh anak-anak muda Islam.

Ini menunjukkan bahwa sebesar atau sekecil apapun, Ahmad Wahib, bersama Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Abdurahman Wahid, dan lain-lain, telah menorehkan jejak dalam pemikiran Islam Indonesia, khususnya dalam suatu corak pemikiran yang akhir-akhir ini diidentifikasi sebagai “Islam liberal”. Wahib telah ikut melapangkan jalan bagi dakwah liberalisme Islam di Indonesia. Buahnya kini dapat dinikmati kaum liberal dengan adanya berbagai kemudahan menyampaikan pendapat, termasuk mendirikan organisasi.

Banyak hal yang ditinggalkan Wahib, sebagian besar belum selesai, untuk kita pikirkan dan tanyakan kembali. Sekadar kesimpulan, saya kira sumbangan terbesar Wahib bagi pembaruan pemikiran Islam bukanlah pada kebenaran gagasan-gagasannya, karena untuk itu ia tak diberi banyak waktu untuk melengkapi pemikirannya dengan argumen-argumen yang komprehensif dan sistematis. Dalam hal ini Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahib telah menggantikan perannya secara lebih baik. Sumbangan Wahib paling berharga justru terletak pada pertanyaan-pertanyaannya, yang diliputi semangat dan spirit yang gigih dalam mencari Kebenaran.
Akhirul kalam, pergulatan Wahib yang tanpa lelah mengingatkan kita akan satu prinsip hidup mahapenting: kejujuran, (meminjam Pram dalam Bumi Manusia) sejak dalam pikiran. Ia sendiri telah mengamalkannya secara konsisten lewat praktek berpikir bebas. Ia emoh jadi orang munafik, sok suci dan semacamnya. Ia benci pada pikiran-pikiran munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri (PPI, 31). Sebab hanya dengan kejujuran, dengan berpikir bebas, kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya, menjadi sepenuh manusia, yang kreatif. Otentik

Selasa, 09 November 2010

MAKNA BENING POLITIK
Analisis Refleksitas Fenomina
Oleh: ANDI (B06209127) 3 H2 KOM
Politik penuh intrik (iwan fals)
Politik adalah ilmu yang membahas masalah public good (kebaikan bersama) yakni stuktur ideal serta tentang keadilan (Socrates 469-399 SM). Istilah politik berasal dari kata Polis (bahasa Yunani) yang artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara. Polites artinya warga Negara. Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan. Politicia artinya pemerintahan Negara.
Dari pengertian diatas politik erat kaitannya dengan Negara, sedangkan Negara mempunyai pengertian sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan yaitu kemampuan sesorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok sesuai dengan keinginan dari pelaku.
Dalam sebuah Negara, agar Negara bisa menjadi makmur dan beradab harus disertai dengan keadilan dan kesejahteraan dari berbagai kalangan didalamnya. Disini politik menjadi penting bagi pemegang kuasa dalam membahas keadilan dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi pada akhir-akhir ini politik mulai kehilangan kendali dalam menangani kasus yang berkaitan dengan kebaikan public. Sering kali para penguasa menyalah gunakan politik sehingga banyak orang yang menganggap bahwa politik itu kotor dan penuh intrik
Pada masa orde baru berkembang pengertian yang bersifat khas tentang politik. Politik pada masa orde baru adalah sebuah kegiatan yang cendrung di tabukan dan disempitkan sedemikian rupa sehingga dicitrakan sebagai sesuatu yang bersifat formal dan terkontrol (Riwanto Tirtosudarmo 2007). Kegiatan politik pada masa orde baru tidak boleh keluar dari jalur atau pakem yang telah digariskan dari atas. Kegiatan politik harus dialurkan melalui partai politik yang jumlahnya sudah ditentukan dan asasnya sudah ditetapkan. Kegiatan politik yang keluar dari hal-hal yang telah digariskan bukan saja merupakan sesuatu yang illegal, tetapi juga dianggap membahayakan Negara dan harus mendapat sangsi yang setimpal. Dalam situasi yang demikian, politik dikonstruksi sebagai suatu yang memiliki aspek-aspek yang sangat terbatas dan terkendali. Selama orde baru, politik menjadi sesuatu yang bersifat sangat formalistik sehingga kehilangan substansinya sebagai pantulan atau cerminan aspirasi dan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat.
Sadar akan hal itu pada tahun 1998 kegiatan politik yang bersifat sangat formal harus dihentikan. Tumbangnya orde baru membawa Indonesia pada tatanan politik yang lebih cerah. Sehingga di masa revormasi banyak dari barbagai partai politik yang bermunculan. Ini merupakan nilai plus dari tumbuh berkembangnya perpolitikan di Indonesia. Tapi harus menjadi miris kembali ketika mereka hanya berkutat pada kepentingan partai belaka. Sehingga apa yang menjadi kepentingan rakyat tidak dipedulikan lagi.
Wakil rakyat yang nyatanya harus berada di pihak rakyat dan harus berdiri ditengah kepentingan rakyat akhirnya juga hanyut pada perpolitikan yang hanya berahir pada kompromi antar partai politik. Seharusnya wakil rakyat yang telah diparcaya duduk dikursi harus memikirkan nasib rakyat. Tapi apa yang mereka lakukan, tiap jam kerjanya hanya 5 % yang berbicara mengenai kepentingan rakyat, sedangkan 95 % nya mereka hanya berbicara mengenai kebaikan partai politiknya. Sehingga mereka duduk sebagai wakil rakyat tak ubahnya sebagai perwakilan dari partai politiknya yang berbicara kebaikan dan kebesaran partai poliknya. Ketika ditanya apakah mereka tau apa yang sedang diderita rakyat mereka, mereka pasti tidak tahu. Karena mereka hanya berada di balik meja. Lalu bagaimana cara mereka menyelesaikan segala permasalahan yang harus menjadi tanggungannya.
Saat Negara dilanda bencana merapi meletus dan gempa mentawai para wakil rakyat malah enak-enakan safari keluar negri. Inikah kepedulian dari wakil rakyat kita. Lalu siapa yang siap menyelasaikan permasalahan ini ketika yang bertanggung jawab malah bersifat apatis terhadap penderitaan rakyat. Banyangkan berapa banyak uang rakyat yang mereka gunakan dalam kunjungan keluar negri yang meraka namakan dengan study banding. Berapa persenkah peran konktit dari kunjungan keluar negri tersebut sampai mereka meninggalkan negaranya yang lagi tertimpa musibah. Apakah itu yang dibutuhkan rakyat saat rakyat butuh belas kasih dari para pemerintah dan wakil rakyat pada khususnya.
Sebagian dari mereka bilang kalau kunjungan tersebut sudah ada kontak dengan pihak luar negri sehingga hanya bisa diundur kurang lebih dari sepuluh hari. Apakah alasan ini sangat memuaskan? Kenapa meraka harus tersenyum katika rakyat malah menderita. Tadi malam presiden kita SBY menganguk-nganguk dan tersenyum kecil dasamping obama dalam penyambutan kunjungan presiden di Negara digdanya itu. Ini merupakan sebuah penghormatan tapi bukankah berjuang untuk rakyat juga merupakan sebuah penghormatan. Selama ini kebijakan yang lahir dari pemerintah hanya mengganti sapi ternak dari orang-orang yang terkena aliran wedus gembel dari merapi. Sedang mengenai kesehatan dan keselamatan mereka tidak ada respon sama sekali. Sehingga banyak dari mereka yang meninggal terkena abu vulkanik. Mirisnya mereka yang ada dalam pengungsian malah kekurangan baik dari segi medis maupun perlengkapan yang lainnya seperti sabun pakaian dan lainnya.
Kini saatnya kita berpolitik menggunakan pendekatan social-budaya. Sudah saatnya kita membebaskan belenggu yang melilit pada kata-kata yang selama ini membuatnya memiliki pengertian-pengertian yang terbatas dan keliru, misalnya mengenai social-budaya dan politik. Menurut Clifford geertz, soaial-budaya dan politik adalah ibarat dua sisi dari mata uang yang sama (Riwanto Tirtosudarmo 2007). Untuk mengerti politik maka diharuskan mengerti kebudayaan masyarakat, begitu pula sebaliknya, untuk mengerti kebudayaan sebuah masyarakat kita diharuskan mengerti politik. Geertz berpendapat bahwa aspek social budaya dan politik dari suatu masyarakat merupakan sebuah anyaman social (social fabric) yang saling lilit, yang kadang kala hanya dapat kita mengerti setelah kita cukup lama mengenal masyarakat yang bersangkutan sehingga bisa melakukan interpretasi terhadap makna yang berada dibalik tingkah laku dan penderitaan rakyat.

Rabu, 06 Oktober 2010

tugas

PENGARUH KELAS MULTI MEDIA TERHADAP KUALITAS PEMBELAJARAN DI FAKULTAS DAKWAH

1. Latar Belakang
Tahun 2010 adalah tahun dimana teknologi berkembang dengan pesatnya. Hal ini juga mempengaruhi terhadap teknologi multi media yang sejatinya dapat mempermudah proses belajar mengajar. Ini terbukti saat banyaknya para dosen yang menyajikan mata kuliahnya melalui slide show dan program-program yang berbasis multi media. Selain dapat mempermudah penyampaian materi juga dapat mempersingkat waktu yang nyatanya Cuma satu setengah jam per mata kuliah.
Saat ini difakultas dakwah, kelas-kelas yang dilengkapi dengan alat multi medianya banyak diminati oleh para mahasiswa. Bahkan ada yang sampai mengeluh ketika mereka mempunyai giliran berada di kelas yang masih belum dilengkapi dengan alat multi media tersebut. Terkadang dosen yang dapat giliran dikelas yang belum dilengkapi dengan multi medianya dia malah nyuruh mahasiswa untuk pinjam di akademik. Itupun masih berebutan.
Memang belajar dengan fasilitas multi media itu terasa menyenangkan, Selain manarik juga simpel. Tepi anehnya di fakultas dakwah ini masih lebih dari separuh kelas yang belum dilengkapi dengan alat multi media. Sehingga mahasiswa masih harus disibukkan dengan cacatan dan fotocopy materi kuliah
2. Rumusan Masalah
1. Seberapa besar pengaruh kelas multi media terhadap kualitas pembelajaran
2. mengapa kelas multi media berpengaruh terhadap kualias pembelajaran
3. apa pengaruh kelas multi media terhadap kualitas pembelajaran

Sabtu, 02 Oktober 2010

iklan

POND’S FLOWERS
Iklan ini menceritakan tentang seorang gadis yang suka membaca buku ditaman, tepatnya dibawah pohon emas atau pohon berdaun kuning. Tampak di sebrang jalan terlihat seorang cowok yang suka membaca buku ditaman dan duduk santai di kursi. Ternyata setiap cowok datang sambil membaca buku dia memperhatikan sang gadis yang sedang membaca di sebrang jalan tersebut. Sang gadis semakin hari tampak semakin cantik karena bertata rias dengan Pond’s Flowers. Pada akhirnya cowok tersebut mencari cara agar sang gadis mau duduk bersama dia. Pada suatu malam cowok itu memindahkan pohon emas atau pohon yang berdaun kuning tersebut dibelakang kursinya, agar ke esokan harinya sang gadis mau duduk bersama dia.
Intinya iklan diatas adalah bahwasanya dengan menggunakan Pond’s Flowers seorang gadis dapat menambah ke cantikannya dalam beberapa hari, serta banyak memikat para cowok yang melihatnya bahkan sampai menaruh hati padanya.

Rabu, 23 Juni 2010

statistik sosial (PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA TERHADAP KESEHATAN MENTAL ANAK DI WONOCOLO SURABAYA)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan agama adalah proses dalam membina anak didik sesuai dengan norma-norma atau kaidah-kaidah agama. Ini diungkapkan dalam pancasila sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal seperti ini sebenarnya sudah dilakukan semenjak kita masih kecil. Awalnya dari keluarga lalu lebih meluas pada tatanan instansi pendidikan, mulai dari TK, SD sampai ke Perguruan Tinggi. Ini dimaksudkan agar anak-anak didik dapat menyesuaikan dirinya baik secara lahir maupun batin dengan lingkungannya. Kebanyakan dari anak yang mempunyai mental yang tidak sehat berawal dari tekanan psikisnya akibatnya karena mereka kurang berbekal kaidah-kaidah agama yang menjadi pengendali akhirnya mereka frustasi dengan keadaan dirinya.
Pada umumnya setiap orang senantiasa memiliki mental yang sehat, namun karena suatu sebab ada sebagian orang yang memiliki mental tidak sehat. Orang yang tidak sehat mentalnya memiliki tekanan-tekanan batin. Dengan suasana batin seperti itu, kepribadian seseorang menjadi kacau dan mengganggu ketenangannya. Gejala inilah yang menjadi pusat pengganggu ketenangan hidupnya. Ketenangan hidup dapat tercapai bila seseorang dapat memecahkan keruwetan jiwa pada dirinya yang menimbulkan ksulitan hidup. Hal ini dapat dilakukan bila ia berusaha untuk mebersihkan jiwa agar tidak terganggu ketenangannya dan tidak terjadi konflik-konflik maupun rasa takut. Nah, dari sini Nampak jelas bahwa pendidikan agama merupakan hal yang sangat penting dalam manjaga ketenangan hidup dan diajarkan mulai masa kanak-kanan guna menjadi pondasi dari gangguan psikisnya yang sedang menunggu.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian dengan judul “pengaruh pendidikan agama terhadap kesehatan mental anak”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka permasalahan yang hendak diajukan adalah Adakah pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama terhadap kesehatan mental anak di Pamekasan

C. Hipotesis
H0 : Tidak ada pengaruh antara Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Mental Anak di Wonocolo Surabaya
H1 : Ada pengaruh antara Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Mental Anak di Wonocolo Surabaya













BAB II
ANALISA STATISTIK

- Variable bebas : Pendidikan Agama
- Variable terikat : Kesehatan Mental Anak

Tabel 1
N V. Bebas (Vx) V. Terikat (Vy)
1 30 30
2 30 30
3 30 35
4 25 35
5 40 30
6 25 30
7 20 30
8 30 20
9 10 30
10 15 80
11 20 70
12 30 20
13 20 30
14 30 30
15 20 30
16 10 30
17 10 35
18 30 35
19 30 35
20 30 35
21 40 30
22 40 30
23 50 35
24 25 80
25 50 35
N: 25 ∑x 680 ∑y 910

Mx : 690 = 27.6
25
My : 910 = 36.4
25

Tabel 2
Tabel Kategori
N Vx Mean Kategori N Vy Mean Kategori
1 30 27.6 + 1 30 36.4 _
2 30 27.6 + 2 30 36.4 _
3 30 27.6 + 3 35 36.4 _
4 25 27.6 _ 4 35 36.4 _
5 40 27.6 + 5 30 36.4 _
6 25 27.6 _ 6 30 36.4 _
7 20 27.6 _ 7 30 36.4 _
8 30 27.6 + 8 20 36.4 _
9 10 27.6 _ 9 30 36.4 _
10 15 27.6 _ 10 80 36.4 +
11 20 27.6 _ 11 70 36.4 +
12 30 27.6 + 12 20 36.4 _
13 20 27.6 _ 13 30 36.4 _
14 30 27.6 + 14 20 36.4 _
15 20 27.6 _ 15 30 36.4 _
16 10 27.6 _ 16 30 36.4 _
17 10 27.6 _ 17 35 36.4 _
18 30 27.6 + 18 35 36.4 _
19 30 27.6 + 19 35 36.4 _
20 30 27.6 + 20 35 36.4 _
21 40 27.6 + 21 30 36.4 _
22 40 27.6 + 22 30 36.4 _
23 50 27.6 + 23 35 36.4 _
24 25 27.6 _ 24 80 36.4 +
25 50 27.6 + 25 35 36.4 _



Tabel 3
Persiapan Menghitung X2
Vy
Vx
+
_ ∑

+
0A
14B 14

_
3C
8D 11


5
20
25




X2 = N (ac - bc)2
(a+b) (c+d) (a+c) (b+c)
= 25 (0 - 42)2
(14) (11) (3) (17)
= 25 X 1764
7854
= 44100
7854
= 5.61


db = (b - 1) (k - 1)
= (2 - 1) (2 - 1)
= 1 X 1 = 1
Menurut Tabel X2 t = 3.84 (5 %)
X2o : X2t
5.61 : 3.48 = 5.61 > 3.84
Ho : ditolak
H1 : diterima


KK = X2
X2 + N
= 5.61
5.61 + 25
= 0,18
= 0.9















BAB III
KESIMPULAN
Dari penelitian kami diatas yang telah dianalisa melalui analisa statistik dengan rumus C2 serata menurut tabel Quild Ford dinyatakan terdapat hubungan yang tinggi dan kuat antara Pendidikan Agama Dengan Kesehatan Mental Anak Di Wonocolo Surabaya.
















DAFTAR RUJUKAN

 Burhanuddin Yusak, Kesehatan Mental, 1999, CV PUSTAKA SETIA : Bandumg

Selasa, 22 Juni 2010

sapi sono'

Sapi sono’ adalah kebudayaan yang ada dimadura dan sampai saat inipun masih ada. Mungkin kebudayaan yang seperti ini masih belum membumi dikalangan etnis non madura karena selain prosesnya yang kurang berkesan juga ditimpang tindih oleh budaya yang lain yaitu kerapan sapi yang tidak lain juga merupakan hasil karya orang madura. Sebetulnya kerapan sapi yang menyebar kepenjuru Indonesia sebagai salah satu budaya di madura telah jarang ditemui bahkan bisa dikatakan kebudayaan ini telah hamper punah. Hal ini disebabkan karena merupukan penyiksaan terhadap binatang yang sesungguhnya binatang tersebut merupakan binatang ternak paling berharga dimadura. Dengan punahnya budaya kerapa sapi ini bukan berarti binatang yang diberi julukan sapi tersebut juga sirna dari kebudayaan madura. Akan tetapi sebagai ganti dari budaya kerapa sapi yang sudah dianggap tidak berguna lagi muncullah kebudayaan baru yaitu “sapi sono’”
Sapi sono’ adalah sapi yang dihias atau di make up sedemikian rupa sehingga kelihatan indah lalu dibawa pada sebuah lapangan untuk dipertandingkan. Pertandingannya sangat mudah, dibilang sangat mudah karena tidak mengandung unsur penyiksaan terhadap binatang tersebut. Didalam lapangan ditaruh dua buah yang bentuknya seperti pintu gerbang tapi tidak begitu besar, lalu dibagian bawahnya dikasih kayu lapang, dan dibalik yang seperti pintu gerbang itu ada yang dikasih kaca tapi terkadang ada yang tidak. Kaca ini berguna untuk menakut-nakuti sapi tersebut dengan bayang-bayang yang ada dikaca tersebut. Lalu dari jarak yang tak begitu jauh kira-kira 25 m-an, sapi yang sudah di hias indah tersebut di berangkatkan manuju pintu gerbang yang tadi. Metode pertandingannya sama dengan pertandingan-pertangdingan seperti biasa. Per ronda ada dua pasang sapi yang dipertandingkan. Ketika sepi itu sudah hampir mencapai pada pintu gerbang tersebut disitu di usahakan bagaimana kaki depan sapi itu menginjak kayu yang ada dibagian bawah pintu gerbang tersebut secara serampak dan bersamaan. Ini bukan diinjakkan oleh yang punya sapi tapi harus diinjakkan sendiri oleh sapi itu. Nah dari sini bisa dilihat, sapi yang mana yang bisa menginjakkan kedua kaki depannya padang kayu tersebut secara serampak maka dialah pemenangnya. Namun penilaiannya tidak hanya disini, siring ini juga merupakan ajang hiasan sapi, maka kecantikan, keelokan dan keindahan dari sapi tersebut juga jadi penilaiaan. Sebagaimana halnya miss univers, dari sisi berjalannya sepasang sapi tersebut juga dinilai.
Akan tetapi, tidak hanya cukup sampai disitu. Biasanya, sebelum dan sesudah pertandingan tersebut semua sapi yang sudah dihias dan siap dipertandigkan atau dilombakan dipanjang ditengah-tengah lapangan guna disaksikan oleh banyak orang yang jadi penonton disitu. Selain itu, dalam proses pertandingan ini diiringi oleh lagu-lagu kedaerahan madura. Alatnya juga simpel dan bersifat kemaduraan juga. Tidak seperti sound-sound system yang seperti sekarang, akan tetapi menggunakan loud speaker yang bersifat kuno atau yang dikenal dengan istilah maduranya yaitu “rong corong”. Lapangnnya juga bukan lapangan husus, biasanya dimana ada lahan kosong atau sawah yang sudah panen lalu masih dalam keadaan tenggang atau masih belum ditanami lagi, disitu dibuat lapangan. Hal ini menyebabkan proses pertandingan tersebut tidak hanya diadakan oleh satu daerah, beriring lapangannya yang fleksibel tadi, artinya dimana saja bisa, semua penduduk yang ingin mengadakannya sangat mudah. Tidak harus ruet-ruet mikirin lapangan.
Pertanyaannya mengapa kebudayaan yang seperti ini masih tetap aksis sampai sekarang. Pertama kita harus mengetahui dulu mayoritas profesi orang madura itu apa. Kalau dilihat dari kesehariannya orang madura itu banyak yang bekerja disawah atau diladang dengan menanam sesuatu sesuai musimnya atau bisa disebut petani. Akan tetapi itu bukan pekerjaan satu-satunya, disisi lain mereka juga memelihara ternak yaitu sapi. Karena orang madura tidak ingin waktunya sia-sia disela-sela mengurusi taninya mereka menggunakannya untuk nyabit rumput buat sapi tersebut, tapi ada sebagian yang langsung dikembala.
Dari sini sangat dimungkinkan, melalui pemeliharaan terhadap sapi yang bersifat menyeluruh, terciptalah kebudayaan-kebudanyaan yang bertumpu pada binatang ternak tersebut. Salah satunya sapi sono’ ini. Dan hal ini pula yang menyebabkan sapi sono’ ini masih tetap ada sampai sekarang.
Dilain sisi untuk melesatarikan kebudyaan ini, orang madura mengadakannya melalui sebuah system arisan. Jadi selain yang mengikat itu adalah pertandingan dan hiasan sapinya disitu juga ada arisan yang menguatkannya, namun dilain sisi pula biasanya ini dijadikan ajang ngumpul oleh orang-orang madura itu tersendiri.
Dilihat dari prosesnya yang tidak hanya berorientasi pada pertandingannya saja. Hadiah yang didapat oleh pemenang sapi sono’ ini tidak terlalu istimewa. Bahkan ketika sapi sono’ ini diadakan dengan system arisan yang biasanya dibuat rutinitas, entah satu bulan sekali, tidak mempertimbangkan hadiah. Artinya dalam pertandingan tersebut pesertanya tidak mengaharapkan hadiah karena memang terkadang pertandingan ini tanpa hadiah. Ini mungkin merupakan suatu hal yang aneh ketika dalam sebuah pertandingan tidak ada hadiahnya. Namun begitulah yang terjadi di arena pertandingan sapi sono’ ini.

Sabtu, 19 Juni 2010

cinta???

cinta bagai api yang siap membakar apa yang ada didepannya
cinta bagai duri yang siap menyakiti siapa saja yang mencoba menyentuhnya
cinta bagai virus yang siap melumpuhkan orang yang mencoba tuk mendekatinya
benarkah ini cinta? atau cuma nafsu belaka yang sengaja dikategorikan cinta??

Senin, 31 Mei 2010

SISTEM PENGAJARAN PESANTREN SALAF ANALISIS TEORI KOMUNIKASI PUBLIK

BAB I

PENDAHULUAN

Kata pesantren bukanlah suatu hal yang asing bagi kita, karena pesantern ini khususnya di pulau jawa telah lama dan telah berpuluhan tahun berdiri seiring masuknya para wali ke pulau jawa ini. Sampai sekarangpun kata pesantren masih terus menggema di telinga kita sebagai pendidikan yang penekanannya terhadap ke agamaan yaitu agama islam. Akan tetapi seiring berkembangnya peradapan yang menuntutnya untuk menyesuainkan diri dengan lingkungan timbullah istilah yang disebut pesantren salaf dan pesantren modern.

Kaitannya dengan itu (modern dan salaf) timbullah sebuah metode atau system pengajaran diantara keduanya yang sangat menuntut perbadaan. Pesantren salaf yang masih tetap pada posisi semula masih menggunakan system pengajaran yang seperti semula pula. Yakni murid yang menuntut ilmu dipesantren tersebut cendrung menerima apa adanya dari pengasuh mereka. Atau dengan kata lain sebuah tranformasi keilmuan yang disampaikan oleh pengasuh langsung bisa diterima oleh mereka tanpa ada proses timbal balik dalam proses pengajaran tersebut. Akan tetapi pondok pesantren yang mulai meniti pada peradaban yang sedang berkembang tidak berpaku pada proses pengajaran tersebut. Mereka sudah mengetahui bagaimana proses belajar mengajar yang sedang dipergunakan oleh sebagian besar instansi-instansi keilmuan pada waktu itu.

Akan tetapi kami disini tidak membahas hal tersebut secara mendalam. Yang jadi rumusan kami disini seperti apa persepektif kita mengenai sistem pengajaran pondok pesantren salaf tersebut ketika dikaitkan dengan teori-teori komunikasi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Sistem Proses Pengajaran Pesantren Salaf
Sistem pengajaran dilingkungan pesantren salaf:

1. Sitem bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Dalam sistem ini
sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru/kyai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid memperhatikan buku/kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang
belajar dibawah bimbingan seroang guru.

2. Sistem Sorogan, yaitu sistem dimana seorang murid mendatangi guru yang
akan membacakan kitab-kitab berbahasa arab dan menerjemahkannya kedalam bahasa ibunya (mis: Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan
menerjemahkannya kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang
diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar
murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian
kalimatarab.

Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan
secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya.

Sistem Sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari system
keseluruhan pengajaran pesantren, karena disana menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Disini
banyak murid yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka harus memetangkan
diri dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti sistem lainnya. Sebab
pada dasarnya murid yang telah menguasai sistem sorogan inilah yang dapat
memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan di pesantren. Sorogan
memungkinkan sang kyai dapat membimbing, mengawasi, menilai kemampuan
murid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid.

Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar menyelenggarakan bermacam-macam halaqoh (kelas bandongan), mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jumat), dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai larut malam.
Penyelenggaraan kelas bandongan dimungkinkan oleh suatu system yang
berkembang di pesantren dimana kyai seringkali memerintahkan santri-santri
senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang mengajar ini
mendapat titel ustad (guru). Para assatid (guru-guru) ini dapat
dikelompokan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior, mereka
menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang
dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda.

Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Disini para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang
di tunjuk. Kyai memmimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum
seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk Tanya jawab, biasanya
hampir seluruhnya diselenggaralkan dalam wacana kitab klasik. Wahana
tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam
menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.

Dari narasi tadi mudahlah untuk mengetahui bahwa dalam komplek pesantren,
dari kyai (sebagai pimpinan tetinggi pesantren), kyai muda, asatid, santri
senior, sampai santri yunior, tercipta suatu kelompok masyarakat yang
berjenjang jenjang yang didasarkan pada kematangan dalam bidang pengetahuan.

Pendekatan kedua dapat ditelusuri melalui hubungan alamiah antara pesantren
dan pengajian. Kebanyakan pesantren tumbuh, berkembang, dari embrio yang
disebut pengajian. Dan banyak pula pesantren yang mati dan meninggalkan
sisa-sisanya dalam bentuk pengajian pula. Nasib seperti ini dapat dilihat
pada Pesantren kademangan di Bangkalan Madura, Pesantren Maskumambang di
Gresik, dan pondok Pesantren Jamsaren di Surakarta.

Contoh pesantren yang tumbuh dari lembaga pengajian ialah Pesantren
Tebuireng, pesantren ini memulai kariernya dari pengajian yang diikuti oleh
8 murid. Dalam tempo 20 tahun, pengajian ini telah berkembang menjadi
sebuah pesantren besar yang memiliki kurang lebih 200 santri. 10 tahun
kemudian jumlah santri melonjak menjadi 2000 orang. Pesantren Ploso di
Kediri bermula dari suatu pengajian dari 5 orang murid saja di tahun 1925.
Pada tahun-tahun permulaan tidak ada gedung pondok untuk santri; bahkan
tinggal kyai sewa dari rumah penduduk . Konon isteri kyai pada waktu itu
harus pula ikut menyokong ekonomi keluarga dengan menjual pecel. Setelah
kerja keras selama 15 tahun, pengajian ini tumbuh menjadi lembaga pesanrten
dengan jumlah santri sekitar 400 orang. Pendiri pesantren ini Kyai Jazuli
meninggal tahun 1972, dan digantikan oleh anak tertuanya bernama Kyai
Zaenuddin. Pada tahun 1978 jumlah santri Ploso menjadi sekitar 900 orang .
Contoh lain perkembangan pesantren yang luar biasa adalah Pesantren
Darussalam, Blok Agung Banyuwangi. Pesantren ini mula-mula hanya sebuah
langgar yang luasnya tidak lebih dari 34 meter persegi yang memberikan
pengajian kepada hanya 7 orang saja penduduk sekitar, yang umumnya sangat
jauh dari mengenal ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1977 setelah berjalan 25
tahun, pesantren Darusalam merupakan salah satu pesantren terbesar dengan
jumlah santri tiga ribu seratus tujuh puluh tujuh orang

Diadopsinya sistem sekolah/madrasah di banyak pesantren Indonesia dewasa
ini merupakan respon pesantren terhadap perubahan sosial, adaptasi terhadap
ekspansi sistem pendidikan modern yang di bawa oleh kolonial Belanda.
Proses ini tidak terjadi tiba-tiba akan tetapi melalui proses panjang.

Beberapa pesantren mengambil manfaat dari sistem baru tersebut. Misalnya
adanya kurikulum yang lebih sistematis, penjenjangan, dan system klasikal
mulai dilirik dunia pesantren. Di beberapa daerah pendirian sekolah
dilingkungan pesantren berguna menjaga kontinuitas pesantren itu sendiri.

Dalam kaitan ini pesantren Manbaul Ulum di Surakarta termasuk yang merintis pertama kali bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pesantren.

Pesantren ini didirikan oleh Pakubuwono pada tahun 1906. Menurut catatan
Belanda pada tahun tersebut Pesantren Manbaul Ulum telah memasukan mata
pelajaran membaca (tulisan latin), al-Jabar, dan berhitung. Rintisan
tersebut diikuti kemudian oleh pesantren lainnya misalnya Pesantren
Tebuireng pada tahun 1916 mendirikan sebuah Madrasah Salafiyah yang tidak
hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukan beberapa
pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, menulis dengan
hurup latin kedalam kurikulumnya. Model ini kemudian banyak dijadikan
referensi oleh pesantren lainnya. Seperti Pesantren Rejoso di Jombang yang
mendirikan madrasah pada tahun 1927.

Respon yang sama dengan nuansa baru terlihat pada pengalaman Pesantren
Gontor. Pada tahun 1926 Gontor berdiri. Pesantren ini selain memakai mata
pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya
mempelajari bahasa Inggris disamping bahasa Arab, serta di adakan pelajaran
ekstra kulikuler seperti Olah raga dan Kesenian.

Beberapa pesantren bergerak lebih maju hubungannya daengan gagasan
kemandirian santri setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren.
Beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan latihan keterampialan
(vocational) dalam sistem pendidikannya. Salah satu organisasi yang memberi
penekanan vocational tadi antara lain Persarikatan Ulama di Jawa Barat.
Organisasi ini memperkenalkan pendirian sebuah lembaga yang disebut Santri
Asrama pada tahun 1932 yang dipimpin oleh Haji Abdul Halim.

Pada pasca kemerdekaan walaupun situasi masyarakat masih dalam keadaan
sulit, jumlah santri-santri terus bertambah. pesantren-pesantren besar
semakin banyak menyedot minat para santri, tidak hanya datang dari sekitar
wilayah dilingkungan pesantren, namun juga dari luar Jawa. Diantaranya
dialamai oleh pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo, pesantren tambak beras dan pesantrengontor

Dalam penelitian yang dilakukan Depag RI pada tahun 1955, mencatan ada
30.368 pesantren, dengan santri berjumlah 1.392.159 orang . Sebagai
bandingan pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren sebanyak 32.000
buah dengan jumlah santri sekitar 2.000.000 orang. Angka-angka ini
menunjukan perkembangan yang signifikan walau pada kurun waktu tersebut
pesantren berada dalam posisi strata bawah dari system lembaga pendidikan yang ada.
Lebih jauh pesantren tidak hanya berhenti dengan eksperimen madrasah
seperti mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah, atau
Madrasah Aliyah (MA). Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah Depdikbud (Kini Depdiknas). Di antara
pesantren yang dapat dikategorikan perintis dalam eksperimen ini ialah
Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965
mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar di Kantor P&K. Universitas
ini memiliki 5 fakultas dan hanya ada 1 fakultas agama Islam. Pesantren
lain yang menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu'alimin Babakan
Ciwaringin Jawa Barat yang mendirikan STM. Dalam masa-masa lebih belakang
sistem pengembangan sekolah/madrasaha di pesantren dilakukan oleh semakin
banyak pesantren. Sehingga banyak mengundang kehawatiran banyak kalangan
internal pesantren sendiri terhadap gejala tersebut, terutama bagi orang
yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga tafaquh fi
al-din, yang menciptakan calon-calon ulama, bukan untuk
kepentingan-kepentingan lain, semacam pengisian lapangan kerja.

B. Analisis Teori Komunikasi Publik (Large-Group Communication)

Komunikasi publik (public communication) adalah komunikasi antara seseorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah, atau kuliah (umum). Tablig akbar yang sering disampaikan pendakwah kondang KH. Zainuddin MZ adalah contoh komunikasi publik yang paling kena. Beberapa pakar komunikasi menggunakan istilah komunikasi kelompok-besar (large-group communication) untuk komunikasi ini.

Komunikasi publik biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok. Karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah besar orang. Daya tarik fisik pembicara bahkan sering merupakan faktor penting yang menentukan efektifitas pesan, selain keahlian dan kejujuran yang dimiliki seorang pembicara. Tak seperi komunikasi antarpribadi yang melibatkan pihak-pihak yang sama aktif, satu pihak (pendengar) dalam komunikasi publik cendrung pasif. Umpan balik yang mereka berikan terbatas, terutama umpan balik bersifat verbal. Umpan balik non verbal lebih jelas diberikan orang-orang yang berada dijajaran paling depan karena merekalah yang paling jelas terlihat. Sesekali pembicara menerima umpan balik bersifat serempak, seperti tertawa atau tepuk tangan.

Beberapa ciri komunikasi publik adalah

1. Terjadi ditempat umum (publik), misalnya di auditorium, kelas, tempat ibadah, atau tempat lain yang dihadiri oleh sebagian banyak orang

2. Merupakan peristiwa social yang biasanya telah direncanakan alih-alih peristiwa relatif informal yang tidak terstruktur, terdapat agenda, beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus, seperti memperkenalkan pembicara dan sebagainya.

Yang perlu ditekankan dan penting diketahui adalah bahwa komunikasi publik sering bertujuan memberikan penerangan, menghibur, member\ikan penghormatan atau membujuk.

Kuailitas yang membedakan komunikasi publik dengan komunikasi interpersonal dan kelompok kecil (small group) adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi publik berorentasi kepada si pembicara atau sumber. Sedangkan pada komunikasi interpersonal dan kelompok kecil terdapat hubungan timbal balik diantara si pembicara dengan sipenerima yang terlibat

2. Pada komunikasi publik melibatkan sejumlah besar penerima. Tetapi pada komunikasi interpersonal biasanya Cuma melibatkan dua orang dan kelompok kecil tidak lebih dari lima sampai tujuh orang penerima. Pesan komunikasi publik dimaksudkan untuk menarik banyak orang

3. Pada komunikasi publik kurang terdapat interaksi antara si pembicara dan si pendengar. Hal ini menjadikan kurangnya interaksi secara langsung antara si pembicara dengan si pendengar lebih-lebih jika pendengarnya semakin banyak.

4. Bahasa yang disampaikan dalam komunikasi publik lebih umum supaya dapat dipahami oleh pendengar, biasanya sebelum presentasi si pembicara telah mengetahui tipe khusus dari si pendengar.

C. Hubungan Antara Teori Komunikasi Publik Dengan Sistem Pengajaran Di Pndok Pesantren Salaf

Sebagaimana telah diuraikan diatas mengenai system pengajaran di pondok pesantren salaf yang penekanannya terhadap sistem slogan dan weton. Dari dua system ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendominasi proses komunikasi disitu atau tranformasi pesan yang berupa pengetahuan itu adalah sang pengasuh (komunikator), sedangkan para santri hanya bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh sang pengasuh tersebut. Ketika terjadi proses yang seperti ini secara otomatis tidak akan ada proses timbal balik dari santri (komunikan) yang secara verbal. Secara non verbal mungkin bisa terjadi akan tetapi hal itu Cuma pada pendengar yang ada pada posisi yang bisa jangkau oleh sang pembicara (pengasuh) mengingat jumlah santri yang mengikuti proses pengajaran tersebut sangat banyak. Ini ketika kita lihat pada sisi interaksi dalam proses tersebut.

Ketika kita lihat dari segi tempat dimana berlangsungnya proses pengajaran pesantren tersebut, kebanyakan terjadi di tempat umum seperti halnya didalam masjid. Dan tidak dipungkiri lagi bahwa peserta atau pendengar yang dalam hal ini santri yang terlibat dalam proses tersebut sangat banyak.

Ketika kita mencoba menghubung dengan komunikasi publik proses yang seperti ini sangatlah sesuai sekali. Karena komunikasi publik adalah komunikasi yang melibatkan pendengar atau komunikan yang sangat banyak. Hal inilah yang menjadikan timbulnya istilah komunikasi publik (large group) dalam teori komunikasi.

BAB III

PENUTUP

Dari uraian kami diatas mengenai sistem pengajaran dalam pondok pesantren salaf dengan teori komunikasi publik dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut merupakan fenomena yang sesuai dengan teori komunikasi publik, dengan kata lain proses penyampain pesan yang terjadi dalam lingkungan pesantren salaf antara pengasuh dan santrinya dalam pentransferan ilmu merupakan contoh dari teori komunikasi publik (large group).

Hal ini dapat dilihat dari proses tersebut yang cendrung seperti ceramah tapi penyampainnya secara sistematis. Dalam proses tersebut juga melibatkan sebagian besar atau banyak pendengar yang menimbulkan sulitnya adanya timbal balik. Dan kaetika melibatkan banyak orang atau pendengar pastinya proses tersebut terjadi ditempat umum. Selain itu juga bisa dilihat dari siapa yang lebih mendominasi dalam proses berlangsungnya komunikasi tersebut. Dalam hal ini yang mendominasi adalah pembicara atau komunikator (pengasuh).

DAFTAR RUJUKAN

Muhammad Arni, Komunikasi Organisasi, 1995, BUMI AKSARA: Jakarta

Mulyana Deddy, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, 2005, PT. REMAJA ROSDAKARYA: Bandung