Selasa, 22 Juni 2010

sapi sono'

Sapi sono’ adalah kebudayaan yang ada dimadura dan sampai saat inipun masih ada. Mungkin kebudayaan yang seperti ini masih belum membumi dikalangan etnis non madura karena selain prosesnya yang kurang berkesan juga ditimpang tindih oleh budaya yang lain yaitu kerapan sapi yang tidak lain juga merupakan hasil karya orang madura. Sebetulnya kerapan sapi yang menyebar kepenjuru Indonesia sebagai salah satu budaya di madura telah jarang ditemui bahkan bisa dikatakan kebudayaan ini telah hamper punah. Hal ini disebabkan karena merupukan penyiksaan terhadap binatang yang sesungguhnya binatang tersebut merupakan binatang ternak paling berharga dimadura. Dengan punahnya budaya kerapa sapi ini bukan berarti binatang yang diberi julukan sapi tersebut juga sirna dari kebudayaan madura. Akan tetapi sebagai ganti dari budaya kerapa sapi yang sudah dianggap tidak berguna lagi muncullah kebudayaan baru yaitu “sapi sono’”
Sapi sono’ adalah sapi yang dihias atau di make up sedemikian rupa sehingga kelihatan indah lalu dibawa pada sebuah lapangan untuk dipertandingkan. Pertandingannya sangat mudah, dibilang sangat mudah karena tidak mengandung unsur penyiksaan terhadap binatang tersebut. Didalam lapangan ditaruh dua buah yang bentuknya seperti pintu gerbang tapi tidak begitu besar, lalu dibagian bawahnya dikasih kayu lapang, dan dibalik yang seperti pintu gerbang itu ada yang dikasih kaca tapi terkadang ada yang tidak. Kaca ini berguna untuk menakut-nakuti sapi tersebut dengan bayang-bayang yang ada dikaca tersebut. Lalu dari jarak yang tak begitu jauh kira-kira 25 m-an, sapi yang sudah di hias indah tersebut di berangkatkan manuju pintu gerbang yang tadi. Metode pertandingannya sama dengan pertandingan-pertangdingan seperti biasa. Per ronda ada dua pasang sapi yang dipertandingkan. Ketika sepi itu sudah hampir mencapai pada pintu gerbang tersebut disitu di usahakan bagaimana kaki depan sapi itu menginjak kayu yang ada dibagian bawah pintu gerbang tersebut secara serampak dan bersamaan. Ini bukan diinjakkan oleh yang punya sapi tapi harus diinjakkan sendiri oleh sapi itu. Nah dari sini bisa dilihat, sapi yang mana yang bisa menginjakkan kedua kaki depannya padang kayu tersebut secara serampak maka dialah pemenangnya. Namun penilaiannya tidak hanya disini, siring ini juga merupakan ajang hiasan sapi, maka kecantikan, keelokan dan keindahan dari sapi tersebut juga jadi penilaiaan. Sebagaimana halnya miss univers, dari sisi berjalannya sepasang sapi tersebut juga dinilai.
Akan tetapi, tidak hanya cukup sampai disitu. Biasanya, sebelum dan sesudah pertandingan tersebut semua sapi yang sudah dihias dan siap dipertandigkan atau dilombakan dipanjang ditengah-tengah lapangan guna disaksikan oleh banyak orang yang jadi penonton disitu. Selain itu, dalam proses pertandingan ini diiringi oleh lagu-lagu kedaerahan madura. Alatnya juga simpel dan bersifat kemaduraan juga. Tidak seperti sound-sound system yang seperti sekarang, akan tetapi menggunakan loud speaker yang bersifat kuno atau yang dikenal dengan istilah maduranya yaitu “rong corong”. Lapangnnya juga bukan lapangan husus, biasanya dimana ada lahan kosong atau sawah yang sudah panen lalu masih dalam keadaan tenggang atau masih belum ditanami lagi, disitu dibuat lapangan. Hal ini menyebabkan proses pertandingan tersebut tidak hanya diadakan oleh satu daerah, beriring lapangannya yang fleksibel tadi, artinya dimana saja bisa, semua penduduk yang ingin mengadakannya sangat mudah. Tidak harus ruet-ruet mikirin lapangan.
Pertanyaannya mengapa kebudayaan yang seperti ini masih tetap aksis sampai sekarang. Pertama kita harus mengetahui dulu mayoritas profesi orang madura itu apa. Kalau dilihat dari kesehariannya orang madura itu banyak yang bekerja disawah atau diladang dengan menanam sesuatu sesuai musimnya atau bisa disebut petani. Akan tetapi itu bukan pekerjaan satu-satunya, disisi lain mereka juga memelihara ternak yaitu sapi. Karena orang madura tidak ingin waktunya sia-sia disela-sela mengurusi taninya mereka menggunakannya untuk nyabit rumput buat sapi tersebut, tapi ada sebagian yang langsung dikembala.
Dari sini sangat dimungkinkan, melalui pemeliharaan terhadap sapi yang bersifat menyeluruh, terciptalah kebudayaan-kebudanyaan yang bertumpu pada binatang ternak tersebut. Salah satunya sapi sono’ ini. Dan hal ini pula yang menyebabkan sapi sono’ ini masih tetap ada sampai sekarang.
Dilain sisi untuk melesatarikan kebudyaan ini, orang madura mengadakannya melalui sebuah system arisan. Jadi selain yang mengikat itu adalah pertandingan dan hiasan sapinya disitu juga ada arisan yang menguatkannya, namun dilain sisi pula biasanya ini dijadikan ajang ngumpul oleh orang-orang madura itu tersendiri.
Dilihat dari prosesnya yang tidak hanya berorientasi pada pertandingannya saja. Hadiah yang didapat oleh pemenang sapi sono’ ini tidak terlalu istimewa. Bahkan ketika sapi sono’ ini diadakan dengan system arisan yang biasanya dibuat rutinitas, entah satu bulan sekali, tidak mempertimbangkan hadiah. Artinya dalam pertandingan tersebut pesertanya tidak mengaharapkan hadiah karena memang terkadang pertandingan ini tanpa hadiah. Ini mungkin merupakan suatu hal yang aneh ketika dalam sebuah pertandingan tidak ada hadiahnya. Namun begitulah yang terjadi di arena pertandingan sapi sono’ ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar