Jumat, 26 Agustus 2011

Lyric dan Lagu Maher Zain - The Chosen One



In a time of darkness and greed
It is your light that we need
You came to teach us how to live
Muhammad Ya Rasool Allah

You were so caring and kind
Your soul was full of light
You are the best of mankind
Muhammad Khaira Khalqillah
Sallu ‘ala Rasulillah, Habib Al Mustafa
Peace be upon The Messenger
The Chosen One

From luxury you turned away
And all night you would pray
Truthful in every word you say
Muhammad Ya Rasul Allah

Your face was brighter than the sun
Your beauty equaled by none
You are Allah’s Chosen One
Muhammad Khaira Khalqillah
Sallu ‘ala Rasulillah, Habib Al Mustafa
Peace be upon The Messenger
The Chosen One

I will try to follow your way
And do my best to live my life
As you taught me
I pray to be close to you

On that day and see you smile
When you see me
Sallu ‘ala Rasulillah, Habibil Mustafa
Peace be upon The Messenger
The Chosen One

Sallu ‘ala Rasulillah, Habibi Mustafa
Peace be upon The Messenger
The Chosen One

Sabtu, 20 Agustus 2011

Lyric dan Lagu Maher Zain - Insya Allah


Everytime you feel like you cannot go on
You feel so lost
That your so alone
All you is see is night
And darkness all around
You feel so helpless
You can’t see which way to go
Don’t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side

Insha Allah x3
Insya Allah you’ll find your way

Everytime you commit one more mistake
You feel you can’t repent
And that its way too late
Your’re so confused, wrong decisions you have made
Haunt your mind and your heart is full of shame

Don’t despair and never loose hope
Cause Allah is always by your side
Insha Allah x3
Insya Allah you’ll find your way
Insha Allah x3
Insya Allah you’ll find your way

Turn to Allah
He’s never far away
Put your trust in Him
Raise your hands and pray

OOO Ya Allah
Guide my steps don’t let me go astray
You’re the only one that showed me the way,
Showed me the way x2
Insyaallah x3
Insya Allah we’ll find the way

Minggu, 27 Maret 2011

Contoh Berita Features (Tugas Praktikum)


DARI KOST YANG KUMUH, SUPATMA BISA KULIAH KE KANDA DENGAN GRATIS

Ternyata tidak semua yang kita persepsikan adalah benar. Supatma yang merupakan mahasiswa di IAIN Sunan Ampel fakultas Dakwah Prodi Ilmu Komunikasi telah membuktikan semua itu. Dia masuk IAIN pada tahun 2009. kampus yang tergolong murah untuk daerah Surabaya. Dia berasal dari Pamekasan Madura. Orang tuanya adalah petani. Dan ia merupakan anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuanya menkuliahkan dia ke IAIN karena orang tuanya sadar bahwa menyekolahkan anaknya adalah sebuah kewajiban. Dengan bermodalkan semangat antara sang orang tua dan anak akhirnya supatma pun berada di IAIN.
Sekarang dia sudah semester 4. berbagai pengorabanan tentunya telah ia lakukan. Dia memang tidak mempunyai kiriman yang pasti dari orang tuanya, makanya dia memilih kost yang kumuh untuk dijadikan tempat berteduh. Makanpun dia tidak pernah teratur. Bahkan, dia sering berpuasa agar tidak terlalu banyak menghabiskan uang.
Di kampus supatma merupakan mahasiswa yang pendiam, penakut dan pemalu. Banyangkan, sampai saat ini dia masih belum berani untuk berperan aktif dalam kelas. Teman-temannya menyangkanya bahwa supatma merupakan mahasiswa yang tidak mempunyai bakat sama sekali. Sehinggga tidak ada dari teman-temannya yang menaruh sipmpati kepadanya. Supatma seakan termarginalkan.
Namun meski begitu, dia mempunyai kecendrungan menulis dikostnya. Dia selalu menulis apa yang dia pikirkan, meski pada akhirnya tilisan itu hanyalah tinggal tulisan.
Hingga suatu saat dia menemukan brosur beasiswa ke kanada. Dalam brosur itu dicantumkan bahwa parsyaratan utama adalah karya tulis ilmiah dengan tiga bahasa, bahasa inggris, arab dan Indonesia. Dan saat itu ia berfikir dirinya mampu melakukan itu. Dia berniat untuk mengejar beasiswa tersebut dengan tulisannya. Pertamanya supatma inferior dengan usahanya tersebut. Entah dapat bisikan dari mana, dia akhirnya membulatkan tekatnya untuk mengejar beasiswa itu. Bayangkan, mahasiswa yang tidak pernah dianggap dikampusnya mempunyai tekad yang besar. Kuliah ke kanada dengan gratis.
Sejak saat itu, supatma mulai menulis dengan serius. Lewat kenyakinan dan harapan yang besar dari seorang supatma yang seakan mau menderita demi ilmu, penapun terus berjalan. Meniti menapaki alunan fikiran anak itu. Tinta itu seakan menjadi bukti bahwa dia benar-benar ingin mengenyam pendidikan lebih banyak lagi. Lelah dan capekpun tak pernah lagi menghampirinya. Sampai suatu saat kertas itu terpenuhi tinta hitam. Dan supatmapun mulai melangkah degan pasti. Keluar dari kostnya yang dengan keyakinan bahwa dia akan sampai ke kanada dengan hitam diatas putih itu. Kanada seakan telah berada dihadapannya.
Namun usaha supatnya untuk ke kanada tidak berhenti saat itu juga. Pengorbanan supatma sungguh sangat besar. Awal ia mengajukan diri ke pihak kampusnya, ternyata berkasnya ditolak. Pihak kampus beranggapan bahwa dia tidak akan mampu meraih beasiswa tersebut. Namun, supatma tetap tidak pantang menyerah, hingga akhirnya dia dapat diajukan sebagi perwakilan dari fakultas Dakwah untuk IAIN Sunan Ampel.
Dan akhirnya, pada tanggal 17 maret 2011 pihak akademik menerima surat dari IBD bahwa perwakilan dari IAIN Sunan Ampel atas nama Supatma diterima untuk mendapatkan beasiswa ke kanada. Saat itu, dunia seakan terbalik. Semua orang yang ada dikampus yang awalnya menyepelekan supatma beralih membanggakannya. Kini supatma telah menjadi perhatian banyak orang. Ternyata berawal dari kost-kostan yang kumuh dia mampu ke kanada dengan gratis. Dan pada tanggal 12 april dia akan diberangkatkan ke kanada.

Selasa, 22 Maret 2011

Favorite Actris, Pure maha dewi


andai kau tau bahwa dari kejauhan ada yang selalu merhatiin, memikirkan kamu. mungkin kau tak pernah mengira perasaan ne. karena perasaan ne sangat indah bagiku. lebih indah dari suasana dipagi hari. lebih indah dari kicauan burung perpati. dan lebih indah dari suasna purnama berbintang,.,.,.,.

Favorite Actris, Pure maha dewi


aku suka banget puri mahadewi,.,.,..,,.. seandainya saja yaaaaaa

Senin, 27 Desember 2010

gagasan pemikiran ahmad wahib


Ahmad Wahib adalah seorang budayawan, dan pemikir Islam yang lahir pada tanggal 9 November 1942 di Sampang Madura. Semasa hidupnya yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam. Pada tanggal 31 Maret 1973, Ahmad Wahub meninggal dunia karena ditabrak sepeda motor di depan kantor majalah Tempo, tempat di mana ia bekerja sebagai calon reporter.

Dibawah ini adalah beberapa catatan harian dari Ahmad Wahib:

"Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?" (Catatan Harian 6 Juni 1969)

"Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang. Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali ? Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri" ( Catatan Harian 9 Juni 1969)

"Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan." (Catatan Harian 6 Oktober 1969)

"Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab." (Catatan Harian 20 Februari 1970)

"Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi. Saat itu adalah saat yang paling pahit." (Catatan Harian 20 April 1970)

"Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif." ( Catatan Harian 16 Agustus 1970)

"Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita. Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah." (Catatan Harian 10 April 1972)

"Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali. (Catatan Harian)"

selain itu, dibawah ini juga merupakan catatan harian ahmad wahib.

* Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

* Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. ( Catatan Harian 16 Agustus 1970)

* Tuhan, bisakah aku menerima hukum-Mu tanpa meragukannya lebih dahulu? Karena itu Tuhan, maklumilah lebih dulu bila aku masih ragu akan kebenaran hukum-hukum-Mu. Jika Engkau tak suka hal itu, berilah aku pengertian-pengertian sehingga keraguan itu hilang. Tuhan, murkakah Engkau bila aku berbicara dengan hati dan otak yang bebas, hati dan otak sendiri yang telah Engkau berikan kpadaku dengan kemampuan bebasnya sekali ? Tuhan, aku ingin bertanya pada Engkau dalam suasana bebas. Aku percaya, Engkau tidak hanya benci pada ucapan-ucapan yang munafik, tapi juga benci pada pikiran-pikiran yang munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri ( Catatan Harian 9 Juni 1969)

* Pada saat ini terlihat bahwa seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi di Indonesia, termasuk sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat potent untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata menjadi pelempar tanggung jawab. Ada suatu bahaya bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi society of responsibility shifters. Karena itu dari kalangan anak-anak muda di samping orang-orang tua, haros tampil beberapa orang yang berani melawan arus ini dan menegakan suatu masyarakat yang bertanggung jawab. (Catatan Harian 20 Februari 1970)

* Kita kaum pembaharu muslim masih terlalu banyak menoleh kebelakang. Kita masih telalu sibuk melayani serangan-serangan dari orang-orang muslim tradisional. Kalau ini sampai berjalan lama dan menjadi kebiasaan saya kuatir kaum pembaharu akan terlibat dalam apologi bentuk baru, yaitu apologi terhadap ide-ide pembaharuan (yang sudah ada) melawan kaum tradisional. Bila ini sudah terjadi maka terhentilah sebenarnya kerja pembaharuan kita. Umur pembaharuan dikalangan muslim masih terlalu muda. Karena itu saya sangat kuatir bila dia menyibukan diri untuk: 1. menangkis dan menyerang muslim-muslim tradisional dengan faham-fahamnya yang sudah lama tersusun; 2. untuk menyebarkan pikiran-pikirannya yang notabene belum matang, belum lengkap dan jauh dari utuh. Karena itu sebaiknya kaum pembaharu memusatkan diri pada ketekunan pemikiran dan perenungan alam suatu grup kecil untuk mengolah dan mengembangkan konsep-konsep yang ada agar relatif matang, lengkap dan utuh. Kalau ini tidak dilakukan saya kuatir kita akan menjadi budak yang mau maju terus dan malu untuk sewaktu-waktu mundur bila kadang-kadang salah. (Catatan Harian 10 April 1972)

* Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini? (Catatan Harian 6 Juni 1969)

* Memang aku dahaga. Dahaga akan segala pengaruh. Karena itu kubuka bajuku, kusajikan tubuhku yang telanjang agar setiap bagian dari tubuhku berkesempatan memandang alam luas dan memperoleh bombardemen dari segala penjuru. Permainan yang tak akan pernah selesai ini sangat mengasyikan.(Catatan Harian 6 Oktober 1969)

* Dengan membaca aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya dimana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. Kenyataan yang pahit tidak bisa dihindari teris-menerus berhubung dualitas diri yaitu jasmani dan roahani. Sebentar lagi kenyataan akan menangkapku dan aku belum tahu bagaimana saat itu harus kuhadapi. Saat itu adalah saat yang paling pahit. (Catatan Harian 20 April 1970)

* Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku berharap cintaku padamu akan pulih kembali. (Catatan Harian)

Inti Gagasan Pembaruan Wahib

Beragam persoalan yang diungkapkan Wahib dalam buku tersebut, menunjukkan minatnya yang luas terhadap berbagai bidang. Oleh Djohan Effendy, kawan terdekat sekaligus editor buku, persoalan itu dibagi ke dalam empat bagian: masalah keagamaan yang menempati porsi terbesar, soal politik dan budaya, dunia kemahasiswaan dan keilmuan, dan soal-soal yang menyangkut kehidupan pribadi. Di sini akan disinggung sekilas tema-tema pemikirannya yang saya anggap penting.

Kritik terhadap umat Islam

Di bagian awal buku, Wahib mengungkapkan kekecewaannya akan kondisi umat Islam saat itu, yang menurutnya belum mampu menerjemahkan kebenaran Islam dalam suatu program pencapaian (PPI, 18). Antara cita dan kenyataan masih jauh jaraknya. Dalam pandangan Wahib, agama (Islam) telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia, dus terpisahnya agama dari masalah dunia. Jadi tanpa disadari, umat Islam telah menganut sekularisme, meskipun dengan lantang sering menentang sekularisme (PPI, 37).

Kekecewaan Wahib juga diarahkannya pada organisasi-organisasi Islam. Apalagi tantangan pertama terhadap gagasan-gagasannya justru berasal dari kalangan HMI, sebuah organisasi yang menghimpun mahasiswa Islam, dari mana dia memulai pembaruannya. HMI saat itu masih belum bisa melepaskan ketergantungan baik secara emosional maupun politis dengan tokoh-tokoh Masyumi. Partai politik yang pernah dibekukan Soekarno itu, bersama Muhammadiyah, kerap menjadi sasaran utama kritik Wahib. Perjuangan politik Masyumi, menurutnya, terlalu yuridis-formalistis, hanya berkutat pada aspek-aspek lahiriah dari ajaran Islam. Senafas dengan itu, ia juga menilai Muhammadiyah telah berhenti sebagai organisasi pembaharu karena tidak lagi gelisah dan merasa cukup puas dengan ide-ide yang sudah ada. Muhammadiyah telah kehilangan élan vital pembaruannya, yakni kemauan untuk mencari dan bertanya, mengkritik diri, dan tidak terdapat lagi benturan ide-ide yang intensif di dalamnya.

Wahib justru lebih menghargai NU yang menurutnya lebih apresiatif terhadap kebudayaan, terbuka terhadap perubahan (change) dan penuh dengan inovasi-inovasi kultural. Hal ini, andaikata dilambari dengan sikap demokratis, jujur dan berwatak, dapat diperkirakan masa depan NU akan jauh lebih cemerlang daripada Muhammadiyah yang cenderung anti-kebudayaan. Kritiknya terhadap NU adalah kurangnya apresiasi ulama-ulamanya terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan modern, yang membuatnya gagap terhadap perubahan.

Kebebasan Berpikir

Atas kondisi-kondisi yang ada pada umat dan organisasi-organisasi Islam itu, Wahib menyerukan pentingnya pembaharuan. Dan itu harus dimulai dari kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir bukan saja hak, melainkan kewajiban. Bagi Wahib, orang yang berpikir itu, meskipun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir. Ia yakin bahwa Tuhan tidak membatasi, malah Tuhan akan bangga dengan otaknya yang selalu bertanya tentang Dia. Oleh karena itu Wahib heran dengan orang yang tidak mau menggunakan pikirannya, atau yang menyarankan agar dia berpikir dalam batas-batas tauhid, sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Aneh, tulisnya, mengapa berpikir hendak dibatasi. Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri? Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan (PPI, 23).

Sumber Islam dan Sejarah Muhammad

Meskipun sangat mempercayai kekuatan akal, Wahib tidak setuju kalau akal dijadikan sebagai sumber Islam. Sumber Islam itu dua, Alquran dan Sunnah. Akal adalah alat untuk menggali kedua sumber itu. Tidak proporsional kalau akal dijadikan sumber. Logikanya, akal itu macam-macam, tiap orang berbeda-beda, maka sumber pun macam-macam pula (PPI, 23).

Namun pada catatannya kemudian, Wahib menyatakan bahwa sumber Islam adalah Sejarah Muhammad. Alquran dan Sunnah hanyalah sebagian sumber saja dari Sejarah Muhammad. Sumber lainnya dari Sejarah Muhammad adalah kondisi sosial, yakni struktur masyarakat waktu itu, kebudayaannya, struktur ekonominya, pola pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadanya, iklimnya, pribadi Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya, dan lain-lainnya (PPI, 110). Tampaknya ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikirannya yang belum selesai, dan, oleh karena itu, merupakan yang paling susah dipahami. Pantaslah jika pemikiran tersebut tidak disetujui seorang pun yang hadir dalam sebuah diskusi di rumah Dawam Rahardjo, yaitu Nurcholish, Djohan, Usep, dan Utomo, dan Dawam sendiri.

Ijtihad dan Transformasi

Bentuk nyata berpikir bebas diwujudkan dalam ijtihad. Ijtihad merupakan usaha untuk menyusun konsepsi Islam tentang masalah keagamaan (akidah, ibadah, akhlak, dan khilafah), dan usaha untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan dengan berpegang pada konsepsi Islam di atas. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, Wahib menekankan pentingnya memahami semangat jaman atau konteks ketika suatu ayat turun (asbabun nuzul). Dengan demikian, kita tidak akan memaknai ayat secara harfiah, melainkan didasarkan pada konteksnya di jaman Nabi, dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Untuk menjawab persoalan umat, yang dibutuhkan bukanlah sekadar re-interpretasi ajaran Islam, melainkan transformasi ide-ide Islam pada jaman yang sedang berjalan (PPI, 69). Transformasi melepaskan kita dari kungkungan teks yang statis menuju sumber lain yang lebih dinamis, yakni kondisi sosial. Lebih jauh, Wahib membuat tesis, karena nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnyalah hukum-hukum Islam itu berkembang pula.

Konsep ini mempunyai konsekuensi besar terhadap berbagai hal, misalnya pada perumusan fikih. Fikih, menurut Wahib, merupakan hasil sekularisasi ajaran Islam di suatu tempat dan waktu (PPI, 58). Apa yang dilakukan Nabi adalah fikih pada masanya, dan ini bisa jadi berbeda dengan fikih yang kita terapkan saat ini. Misalnya Nabi menerapkan bentuk negara teokrasi, itu memang sesuai dengan jamannya. Apakah kita sekarang hendak menerapkan teokrasi, demokrasi, atau bentuk negara lain, sifatnya kondisional. Yang jelas, dalam hal hubungan Islam dan negara, Islam hanya menyediakan nilai-nilai dasar. Kitalah yang menentukan penerapan nilai-nilai itu dalam bentuk apa.

Politik, Budaya, dan Pribadi

Keluasan minat dan pandangan Wahib kian terlihat jelas ketika ia menyoroti masalah politik dan budaya. Greg Barton, dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina, 1999, hal. 288), meringkas pikiran-pikiran ensiklopedis Wahib ini dalam satu paragraf panjang: “Di bagian ini Ahmad Wahib menanggapi isu-isu militer dalam kehidupan Indonesia serta kebutuhan responsi pragmatic untuk hal itu, peran dan potensi Pancasila, kebutuhan masyarakat Indonesia untuk menginternalisasi prinsip-prinsip prinsip-prinsip demokratis dan problem-problem nasionalisme etnik. Ia menyentuh dan berulang-ulang menyoroti tema intelektual serta peran mereka dalam masyarakat, menjelaskan perbedaan antara intelektual dan teknokrat, pemikir dan ilmuwan, lalu mendiskusikan peran perubahan mereka dalam konteks sejarah singkat Indonesia, serta mengupas prospek masa depan mereka. Ia pun memperhitungkan kontribusi seni, sastra, dan seniman bagi hidup serta jiwa juga kelemahan-kelemahan santri yang menentang kelompok-kelompok agama lain. Ia mencari saat-saat ras tidak lagi menjadi isu dan mempertanyakan tabiat partisan nasionalisme Indonesia. Ia mendiskusikan sebab-sebab serta alasan hegemoni kultur Jawa. Ia menulis panjang tentang Pemilu 1971 dan tabiat politik Indonesia. Ia mengkaji ABRI dan Golkar dan perilaku kekuasaan. Ia menatap kaum muda sambil mempertimbangkan peran partai-partai oposisi. Ia menertawakan birokrat. Ia memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Ia berpikir dan berpikir bebas.”

Tidak banyak pemikir Islam yang menaruh minat pada banyak hal sekaligus, tanpa kehilangan kedalaman dan orisinalitas. Dalam hal ini, mungkin hanya Abdurahman Wahid yang bisa melebihinya. Nurcholish Madjid sendiri, menurut saya, tidak seluas Wahib rentangan pemikirannya, terutama karena Nurcholish tidak tertarik dengan seni dan sastra dan karenanya jarang bicara soal-soal kebudayaan. Tetapi tentu bukan di sini tempatnya untuk menjabarkan secara rinci pandangan-pandangan Wahib tentang aneka ragam soal itu.

Lepas dari semua atribut kehebatan itu, Wahib tetaplah seorang manusia yang tak luput dari keterbatasan. Obsesinya yang melangit, cita-citanya yang mengangkasa, seolah tidak berbanding lurus dengan kehidupannya sehari-hari sebagai pribadi: pekerjaan yang tidak tetap, kehidupan cinta yang tidak jelas, dan masa depan yang belum pasti. Wahib sendiri berulang-ulang mengeluhkan keadaan ini di catatan-catatannya yang menyangkut kehidupan pribadi. Keadaan sebenarnya tentu lebih lengkap dari sekadar yang dapat dibaca dalam PPI, yang atas pertimbangan-petimbangan tertentu tidak dimasukkan oleh Djohan Effendy selaku editor.

Posisi Wahib dalam Pembaruan Pemikiran Islam

Buku Pergolakan Pemikiran Islam diterbitkan pada tahun 1981, delapan tahun setelah kematiannya. Meskipun semasa hidupnya Wahib sering menganjurkan pembaruan Islam, namun pemikiran genuinnya baru diketahui oleh teman-teman diskusinya saja seperti Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, dan Nurcholish Madjid, serta paling banter oleh para aktivis HMI Jateng. Posisinya dalam kelompok pembaruan, menurut Djohan Effendy, “lebih merupakan ‘orang belakang layar’ atau ‘actor intellectualist’, tak begitu dikenal umum” (PPI, 13). Karena ia memulai pembaruannya dari tubuh HMI, maka waktu itu fungsionaris HMI-lah yang lebih dikenal. Lebih lanjut, dalam pengantar buku PPI itu Djohan juga menyayangkan terlupakannya nama Ahmad Wahib dalam tulisan dua sarjana luar negeri, yakni Prof. Bolland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari Malaysia, yang meneliti gerakan pembaharuan Islam di Indonesia (PPI, 13).

Oleh karena itu cukup wajar jika dikatakan bahwa Wahib menjadi besar justru setelah ia meninggal. Ia mati, sudah itu berarti. Kita bisa berandai-andai apa saja mengenai nasib Wahib seandainya ia hidup lebih lama. Mungkin namanya akan tenggelam karena idealismenya terbentur kenyataan, karena bakat intelektual dan kerja kerasnya tak cukup kuat untuk melesatkannya ke garda depan; atau boleh jadi ia akan lebih besar dari yang diperolehnya sekarang, lebih terkenal dan lebih berpengaruh, bahkan dibanding Nurcholish Madjid. Apapun itu, yang terjadi adalah: ia berpikir, ia menulis, ia mati; ia sempat dilupakan, dan tiba-tiba ia menghentak dunia Islam Indonesia begitu catatan hariannya diterbitkan. Ia pun dikenal banyak orang. Namanya sering dibicarakan. Pemikirannya kerap jadi kutipan. Dan kegelisahannya yang khas dalam menempuh jalan kebenaran banyak dijadikan model oleh anak-anak muda Islam.

Ini menunjukkan bahwa sebesar atau sekecil apapun, Ahmad Wahib, bersama Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Abdurahman Wahid, dan lain-lain, telah menorehkan jejak dalam pemikiran Islam Indonesia, khususnya dalam suatu corak pemikiran yang akhir-akhir ini diidentifikasi sebagai “Islam liberal”. Wahib telah ikut melapangkan jalan bagi dakwah liberalisme Islam di Indonesia. Buahnya kini dapat dinikmati kaum liberal dengan adanya berbagai kemudahan menyampaikan pendapat, termasuk mendirikan organisasi.

Banyak hal yang ditinggalkan Wahib, sebagian besar belum selesai, untuk kita pikirkan dan tanyakan kembali. Sekadar kesimpulan, saya kira sumbangan terbesar Wahib bagi pembaruan pemikiran Islam bukanlah pada kebenaran gagasan-gagasannya, karena untuk itu ia tak diberi banyak waktu untuk melengkapi pemikirannya dengan argumen-argumen yang komprehensif dan sistematis. Dalam hal ini Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahib telah menggantikan perannya secara lebih baik. Sumbangan Wahib paling berharga justru terletak pada pertanyaan-pertanyaannya, yang diliputi semangat dan spirit yang gigih dalam mencari Kebenaran.
Akhirul kalam, pergulatan Wahib yang tanpa lelah mengingatkan kita akan satu prinsip hidup mahapenting: kejujuran, (meminjam Pram dalam Bumi Manusia) sejak dalam pikiran. Ia sendiri telah mengamalkannya secara konsisten lewat praktek berpikir bebas. Ia emoh jadi orang munafik, sok suci dan semacamnya. Ia benci pada pikiran-pikiran munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura tidak tahu akan pikirannya sendiri (PPI, 31). Sebab hanya dengan kejujuran, dengan berpikir bebas, kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya, menjadi sepenuh manusia, yang kreatif. Otentik