Senin, 31 Mei 2010

SISTEM PENGAJARAN PESANTREN SALAF ANALISIS TEORI KOMUNIKASI PUBLIK

BAB I

PENDAHULUAN

Kata pesantren bukanlah suatu hal yang asing bagi kita, karena pesantern ini khususnya di pulau jawa telah lama dan telah berpuluhan tahun berdiri seiring masuknya para wali ke pulau jawa ini. Sampai sekarangpun kata pesantren masih terus menggema di telinga kita sebagai pendidikan yang penekanannya terhadap ke agamaan yaitu agama islam. Akan tetapi seiring berkembangnya peradapan yang menuntutnya untuk menyesuainkan diri dengan lingkungan timbullah istilah yang disebut pesantren salaf dan pesantren modern.

Kaitannya dengan itu (modern dan salaf) timbullah sebuah metode atau system pengajaran diantara keduanya yang sangat menuntut perbadaan. Pesantren salaf yang masih tetap pada posisi semula masih menggunakan system pengajaran yang seperti semula pula. Yakni murid yang menuntut ilmu dipesantren tersebut cendrung menerima apa adanya dari pengasuh mereka. Atau dengan kata lain sebuah tranformasi keilmuan yang disampaikan oleh pengasuh langsung bisa diterima oleh mereka tanpa ada proses timbal balik dalam proses pengajaran tersebut. Akan tetapi pondok pesantren yang mulai meniti pada peradaban yang sedang berkembang tidak berpaku pada proses pengajaran tersebut. Mereka sudah mengetahui bagaimana proses belajar mengajar yang sedang dipergunakan oleh sebagian besar instansi-instansi keilmuan pada waktu itu.

Akan tetapi kami disini tidak membahas hal tersebut secara mendalam. Yang jadi rumusan kami disini seperti apa persepektif kita mengenai sistem pengajaran pondok pesantren salaf tersebut ketika dikaitkan dengan teori-teori komunikasi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Sistem Proses Pengajaran Pesantren Salaf
Sistem pengajaran dilingkungan pesantren salaf:

1. Sitem bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Dalam sistem ini
sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru/kyai yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid memperhatikan buku/kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang
belajar dibawah bimbingan seroang guru.

2. Sistem Sorogan, yaitu sistem dimana seorang murid mendatangi guru yang
akan membacakan kitab-kitab berbahasa arab dan menerjemahkannya kedalam bahasa ibunya (mis: Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan
menerjemahkannya kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang
diungkapkan oleh gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar
murid mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian
kalimatarab.

Sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan
secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya.

Sistem Sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari system
keseluruhan pengajaran pesantren, karena disana menuntut kesabaran,
kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Disini
banyak murid yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka harus memetangkan
diri dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti sistem lainnya. Sebab
pada dasarnya murid yang telah menguasai sistem sorogan inilah yang dapat
memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan di pesantren. Sorogan
memungkinkan sang kyai dapat membimbing, mengawasi, menilai kemampuan
murid. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid.

Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar menyelenggarakan bermacam-macam halaqoh (kelas bandongan), mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jumat), dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai larut malam.
Penyelenggaraan kelas bandongan dimungkinkan oleh suatu system yang
berkembang di pesantren dimana kyai seringkali memerintahkan santri-santri
senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang mengajar ini
mendapat titel ustad (guru). Para assatid (guru-guru) ini dapat
dikelompokan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior, mereka
menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang
dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda.

Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Disini para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang
di tunjuk. Kyai memmimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum
seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk Tanya jawab, biasanya
hampir seluruhnya diselenggaralkan dalam wacana kitab klasik. Wahana
tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam
menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab islam klasik.

Dari narasi tadi mudahlah untuk mengetahui bahwa dalam komplek pesantren,
dari kyai (sebagai pimpinan tetinggi pesantren), kyai muda, asatid, santri
senior, sampai santri yunior, tercipta suatu kelompok masyarakat yang
berjenjang jenjang yang didasarkan pada kematangan dalam bidang pengetahuan.

Pendekatan kedua dapat ditelusuri melalui hubungan alamiah antara pesantren
dan pengajian. Kebanyakan pesantren tumbuh, berkembang, dari embrio yang
disebut pengajian. Dan banyak pula pesantren yang mati dan meninggalkan
sisa-sisanya dalam bentuk pengajian pula. Nasib seperti ini dapat dilihat
pada Pesantren kademangan di Bangkalan Madura, Pesantren Maskumambang di
Gresik, dan pondok Pesantren Jamsaren di Surakarta.

Contoh pesantren yang tumbuh dari lembaga pengajian ialah Pesantren
Tebuireng, pesantren ini memulai kariernya dari pengajian yang diikuti oleh
8 murid. Dalam tempo 20 tahun, pengajian ini telah berkembang menjadi
sebuah pesantren besar yang memiliki kurang lebih 200 santri. 10 tahun
kemudian jumlah santri melonjak menjadi 2000 orang. Pesantren Ploso di
Kediri bermula dari suatu pengajian dari 5 orang murid saja di tahun 1925.
Pada tahun-tahun permulaan tidak ada gedung pondok untuk santri; bahkan
tinggal kyai sewa dari rumah penduduk . Konon isteri kyai pada waktu itu
harus pula ikut menyokong ekonomi keluarga dengan menjual pecel. Setelah
kerja keras selama 15 tahun, pengajian ini tumbuh menjadi lembaga pesanrten
dengan jumlah santri sekitar 400 orang. Pendiri pesantren ini Kyai Jazuli
meninggal tahun 1972, dan digantikan oleh anak tertuanya bernama Kyai
Zaenuddin. Pada tahun 1978 jumlah santri Ploso menjadi sekitar 900 orang .
Contoh lain perkembangan pesantren yang luar biasa adalah Pesantren
Darussalam, Blok Agung Banyuwangi. Pesantren ini mula-mula hanya sebuah
langgar yang luasnya tidak lebih dari 34 meter persegi yang memberikan
pengajian kepada hanya 7 orang saja penduduk sekitar, yang umumnya sangat
jauh dari mengenal ajaran-ajaran islam. Pada tahun 1977 setelah berjalan 25
tahun, pesantren Darusalam merupakan salah satu pesantren terbesar dengan
jumlah santri tiga ribu seratus tujuh puluh tujuh orang

Diadopsinya sistem sekolah/madrasah di banyak pesantren Indonesia dewasa
ini merupakan respon pesantren terhadap perubahan sosial, adaptasi terhadap
ekspansi sistem pendidikan modern yang di bawa oleh kolonial Belanda.
Proses ini tidak terjadi tiba-tiba akan tetapi melalui proses panjang.

Beberapa pesantren mengambil manfaat dari sistem baru tersebut. Misalnya
adanya kurikulum yang lebih sistematis, penjenjangan, dan system klasikal
mulai dilirik dunia pesantren. Di beberapa daerah pendirian sekolah
dilingkungan pesantren berguna menjaga kontinuitas pesantren itu sendiri.

Dalam kaitan ini pesantren Manbaul Ulum di Surakarta termasuk yang merintis pertama kali bagi penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pesantren.

Pesantren ini didirikan oleh Pakubuwono pada tahun 1906. Menurut catatan
Belanda pada tahun tersebut Pesantren Manbaul Ulum telah memasukan mata
pelajaran membaca (tulisan latin), al-Jabar, dan berhitung. Rintisan
tersebut diikuti kemudian oleh pesantren lainnya misalnya Pesantren
Tebuireng pada tahun 1916 mendirikan sebuah Madrasah Salafiyah yang tidak
hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukan beberapa
pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa melayu, ilmu bumi, menulis dengan
hurup latin kedalam kurikulumnya. Model ini kemudian banyak dijadikan
referensi oleh pesantren lainnya. Seperti Pesantren Rejoso di Jombang yang
mendirikan madrasah pada tahun 1927.

Respon yang sama dengan nuansa baru terlihat pada pengalaman Pesantren
Gontor. Pada tahun 1926 Gontor berdiri. Pesantren ini selain memakai mata
pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya
mempelajari bahasa Inggris disamping bahasa Arab, serta di adakan pelajaran
ekstra kulikuler seperti Olah raga dan Kesenian.

Beberapa pesantren bergerak lebih maju hubungannya daengan gagasan
kemandirian santri setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren.
Beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan latihan keterampialan
(vocational) dalam sistem pendidikannya. Salah satu organisasi yang memberi
penekanan vocational tadi antara lain Persarikatan Ulama di Jawa Barat.
Organisasi ini memperkenalkan pendirian sebuah lembaga yang disebut Santri
Asrama pada tahun 1932 yang dipimpin oleh Haji Abdul Halim.

Pada pasca kemerdekaan walaupun situasi masyarakat masih dalam keadaan
sulit, jumlah santri-santri terus bertambah. pesantren-pesantren besar
semakin banyak menyedot minat para santri, tidak hanya datang dari sekitar
wilayah dilingkungan pesantren, namun juga dari luar Jawa. Diantaranya
dialamai oleh pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo, pesantren tambak beras dan pesantrengontor

Dalam penelitian yang dilakukan Depag RI pada tahun 1955, mencatan ada
30.368 pesantren, dengan santri berjumlah 1.392.159 orang . Sebagai
bandingan pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren sebanyak 32.000
buah dengan jumlah santri sekitar 2.000.000 orang. Angka-angka ini
menunjukan perkembangan yang signifikan walau pada kurun waktu tersebut
pesantren berada dalam posisi strata bawah dari system lembaga pendidikan yang ada.
Lebih jauh pesantren tidak hanya berhenti dengan eksperimen madrasah
seperti mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah, atau
Madrasah Aliyah (MA). Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan umum yang berada di bawah Depdikbud (Kini Depdiknas). Di antara
pesantren yang dapat dikategorikan perintis dalam eksperimen ini ialah
Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965
mendirikan Universitas Darul Ulum yang terdaftar di Kantor P&K. Universitas
ini memiliki 5 fakultas dan hanya ada 1 fakultas agama Islam. Pesantren
lain yang menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu'alimin Babakan
Ciwaringin Jawa Barat yang mendirikan STM. Dalam masa-masa lebih belakang
sistem pengembangan sekolah/madrasaha di pesantren dilakukan oleh semakin
banyak pesantren. Sehingga banyak mengundang kehawatiran banyak kalangan
internal pesantren sendiri terhadap gejala tersebut, terutama bagi orang
yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga tafaquh fi
al-din, yang menciptakan calon-calon ulama, bukan untuk
kepentingan-kepentingan lain, semacam pengisian lapangan kerja.

B. Analisis Teori Komunikasi Publik (Large-Group Communication)

Komunikasi publik (public communication) adalah komunikasi antara seseorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak), yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah, atau kuliah (umum). Tablig akbar yang sering disampaikan pendakwah kondang KH. Zainuddin MZ adalah contoh komunikasi publik yang paling kena. Beberapa pakar komunikasi menggunakan istilah komunikasi kelompok-besar (large-group communication) untuk komunikasi ini.

Komunikasi publik biasanya berlangsung lebih formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok. Karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang cermat, keberanian dan kemampuan menghadapi sejumlah besar orang. Daya tarik fisik pembicara bahkan sering merupakan faktor penting yang menentukan efektifitas pesan, selain keahlian dan kejujuran yang dimiliki seorang pembicara. Tak seperi komunikasi antarpribadi yang melibatkan pihak-pihak yang sama aktif, satu pihak (pendengar) dalam komunikasi publik cendrung pasif. Umpan balik yang mereka berikan terbatas, terutama umpan balik bersifat verbal. Umpan balik non verbal lebih jelas diberikan orang-orang yang berada dijajaran paling depan karena merekalah yang paling jelas terlihat. Sesekali pembicara menerima umpan balik bersifat serempak, seperti tertawa atau tepuk tangan.

Beberapa ciri komunikasi publik adalah

1. Terjadi ditempat umum (publik), misalnya di auditorium, kelas, tempat ibadah, atau tempat lain yang dihadiri oleh sebagian banyak orang

2. Merupakan peristiwa social yang biasanya telah direncanakan alih-alih peristiwa relatif informal yang tidak terstruktur, terdapat agenda, beberapa orang ditunjuk untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus, seperti memperkenalkan pembicara dan sebagainya.

Yang perlu ditekankan dan penting diketahui adalah bahwa komunikasi publik sering bertujuan memberikan penerangan, menghibur, member\ikan penghormatan atau membujuk.

Kuailitas yang membedakan komunikasi publik dengan komunikasi interpersonal dan kelompok kecil (small group) adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi publik berorentasi kepada si pembicara atau sumber. Sedangkan pada komunikasi interpersonal dan kelompok kecil terdapat hubungan timbal balik diantara si pembicara dengan sipenerima yang terlibat

2. Pada komunikasi publik melibatkan sejumlah besar penerima. Tetapi pada komunikasi interpersonal biasanya Cuma melibatkan dua orang dan kelompok kecil tidak lebih dari lima sampai tujuh orang penerima. Pesan komunikasi publik dimaksudkan untuk menarik banyak orang

3. Pada komunikasi publik kurang terdapat interaksi antara si pembicara dan si pendengar. Hal ini menjadikan kurangnya interaksi secara langsung antara si pembicara dengan si pendengar lebih-lebih jika pendengarnya semakin banyak.

4. Bahasa yang disampaikan dalam komunikasi publik lebih umum supaya dapat dipahami oleh pendengar, biasanya sebelum presentasi si pembicara telah mengetahui tipe khusus dari si pendengar.

C. Hubungan Antara Teori Komunikasi Publik Dengan Sistem Pengajaran Di Pndok Pesantren Salaf

Sebagaimana telah diuraikan diatas mengenai system pengajaran di pondok pesantren salaf yang penekanannya terhadap sistem slogan dan weton. Dari dua system ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang mendominasi proses komunikasi disitu atau tranformasi pesan yang berupa pengetahuan itu adalah sang pengasuh (komunikator), sedangkan para santri hanya bisa mendengarkan apa yang disampaikan oleh sang pengasuh tersebut. Ketika terjadi proses yang seperti ini secara otomatis tidak akan ada proses timbal balik dari santri (komunikan) yang secara verbal. Secara non verbal mungkin bisa terjadi akan tetapi hal itu Cuma pada pendengar yang ada pada posisi yang bisa jangkau oleh sang pembicara (pengasuh) mengingat jumlah santri yang mengikuti proses pengajaran tersebut sangat banyak. Ini ketika kita lihat pada sisi interaksi dalam proses tersebut.

Ketika kita lihat dari segi tempat dimana berlangsungnya proses pengajaran pesantren tersebut, kebanyakan terjadi di tempat umum seperti halnya didalam masjid. Dan tidak dipungkiri lagi bahwa peserta atau pendengar yang dalam hal ini santri yang terlibat dalam proses tersebut sangat banyak.

Ketika kita mencoba menghubung dengan komunikasi publik proses yang seperti ini sangatlah sesuai sekali. Karena komunikasi publik adalah komunikasi yang melibatkan pendengar atau komunikan yang sangat banyak. Hal inilah yang menjadikan timbulnya istilah komunikasi publik (large group) dalam teori komunikasi.

BAB III

PENUTUP

Dari uraian kami diatas mengenai sistem pengajaran dalam pondok pesantren salaf dengan teori komunikasi publik dapat disimpulkan bahwa sistem tersebut merupakan fenomena yang sesuai dengan teori komunikasi publik, dengan kata lain proses penyampain pesan yang terjadi dalam lingkungan pesantren salaf antara pengasuh dan santrinya dalam pentransferan ilmu merupakan contoh dari teori komunikasi publik (large group).

Hal ini dapat dilihat dari proses tersebut yang cendrung seperti ceramah tapi penyampainnya secara sistematis. Dalam proses tersebut juga melibatkan sebagian besar atau banyak pendengar yang menimbulkan sulitnya adanya timbal balik. Dan kaetika melibatkan banyak orang atau pendengar pastinya proses tersebut terjadi ditempat umum. Selain itu juga bisa dilihat dari siapa yang lebih mendominasi dalam proses berlangsungnya komunikasi tersebut. Dalam hal ini yang mendominasi adalah pembicara atau komunikator (pengasuh).

DAFTAR RUJUKAN

Muhammad Arni, Komunikasi Organisasi, 1995, BUMI AKSARA: Jakarta

Mulyana Deddy, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, 2005, PT. REMAJA ROSDAKARYA: Bandung